Senin, 16 April 2012

Kuliah “Nehi, Nehi”

Kuliah di India? “Nehi, Nehi” …

KEDUA orangtua Dodo, kini 26 tahun, setengah tidak percaya saat ia memutuskan akan meneruskan kuliah di India. Dosen-dosennya tidak mendukung. Kawankawannya

di kampus juga dibuatnya heran. “Sekolah di India? Nehi, nehi…!” kata kawan-kawannya berkomentar.



SEMULA jika ditanya keberadaan Dodo, orangtuanya pun hanya menjawab bahwa Dodo tengah belajar di luar negeri. Nama India tidak pernah disebut-sebut. “Hampir tidak ada yang memberikan dukungan saya kuliah di India,” kata Sotar Dodo, alumnus Jurusan Akuntansi Universitas Trisakti, Jakarta.



Lulus dari Trisakti tahun 2001, Dodo semula bermaksud meneruskan kuliah di Filipina. Akan tetapi, gara-gara krisis, biaya untuk kuliah ke Filipina jadi membengkak. Apabila tetap ke Filipina, ia harus menunda keinginannya melanjutkan studi. Saat itulah ia diberi tahu seorang kawannya, anak diplomat Indonesia di New Delhi, tentang perguruan tinggi di India yang tidak kalah bagus dengan perguruan tinggi di Australia, Inggris, maupun Amerika Serikat. Uang kuliah dan biaya hidupnya pun relatif murah. Dodo tertarik dan nekat memutuskan berangkat ke India.



Saat memulai kuliah di India, ia sempat terkaget-kaget. Boro-boro seperti Kampus Trisakti yang metropolis. Kuliah ber-AC, restoran cepat saji, dan tempat fitness di kampus, mau nonton film atau mencari barang-barang bermerek tinggal menyeberang ke depan kampus. Kemewahan seperti itu tidak akan ditemui di sebagian besar kampus di India. Apalagi di kota kecil Agra, kota tempat Dodo kuliah.



“Di Trisakti saya kuliah ber-AC, dosen mengajar pakai slide atau power point, semua ruang kelas pakai whiteboard. Begitu ke sini, kayak kembali ke SD inpres! Kembali ke kapur dan papan tulis. Bangku pun harus dibersihkan dulu sebelum duduk,” ujarnya.



Dodo baru lega ketika masa kuliah dimulai. Pendidikan di India memang lebih mementingkan isi daripada kulitnya. Meski gedung-gedungnya kusam, hampir seluruh

dosen yang mengajar di kampusnya bergelar doktor.



Mereka benar-benar mengajar, tidak pernah mewakilkan tugas mengajar kepada asistennya. Dosen-dosen itu juga begitu gampang ditemui. Dodo yang berangkat ke India atas biaya sendiri saat ini telah menyelesaikan studi master di bidang perdagangan dan berniat melanjutkan ke tingkat doktor.



Penampilan fisik kampus-kampus perguruan tinggi di India memang tidak menjanjikan.

“Perguruan tinggi di India memang tidak sibuk dengan urusan lipstik. Bagi mereka yang penting substansi pendidikannya. Kecantikan dari dalam,” kata Wisnu Setiawan, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta yang tengah menempuh studi master bidang arsitektur di New Delhi.

Kampus Indian Institute of Technology Delhi yang berada di peringkat keempat sebagai universitas terbaik versi Asiaweek pada tahun 2000 juga sangat bersahaja. Dinding-dindingnya kusam, sebagian lapisan semen pada tangga menuju ke lantai atas ambrol, dan tidak ada mesin pendingin sekalipun panas di New Delhi bisa

ekstrem.



Penampilan fisik yang sangat sederhana itu jamak dijumpai di kampus-kampus perguruan tinggi di India. Tetapi akses memperoleh ilmu berlimpah. Perpustakaan lengkap dengan koleksi buku dan jurnal terbaru, komputer terkoneksi internet dapat diakses gratis oleh mahasiswa, buku mudah dicari dan murah.



“Dosen-dosen di sini sangat memerhatikan mahasiswa. Mereka mudah ditemui. Semua pengajar saya bergelar doktor. Kalau di Indonesia sulit ditemui doktor datang sendiri mengajar mahasiswa S1,” kata Zamashari (24), yang baru saja menyelesaikan studi Islam di Universitas Jamia Millia Islamia, New Delhi. INDIA tidak diragukan lagi reputasinya dalam mengelola pendidikan tinggi. Di bidang kedokteran, manajemen, sains dan teknologi, keberhasilan pendidikan tinggidi India telah diakui secara internasional. Sekolah-sekolah kedokteran di India dikelola dengan standar internasional sehingga lulusannya laku bekerja ke luar negeri. Sekitar 30 persen dokter yang bekerja di Amerika Serikat berasal dari India.



Di bidang teknik dan teknologi informasi, India adalah tempatnya. Tiap tahun perguruan tinggi di India menghasilkan 200.000 ahli peranti lunak. Keahlian mereka juga diakui secara internasional. Di Microsoft, raksasa perusahaan peranti lunak di Amerika Serikat, tidak kurang 30 persen pekerjanya berasal dari India meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen.



India memiliki tujuh institut teknologi yang telah ditetapkan parlemen sebagai pusat unggulan nasional. Tujuh institut teknik itu merupakan bagian dari 13 perguruan tinggi yang ditetapkan sebagai pusat unggulan nasional yang disokong dananya oleh pemerintah pusat.



Dalam penyelenggaraan pendidikannya, Indian Institute of Technology (IIT) telah mencapai kelas dunia. Untuk warga India, biaya kuliahnya hanya sekitar 30.000 rupee, atau sekitar Rp 6 juta per tahun dan sebagian besar mahasiswanya tinggal di asrama. Itu pun sekitar 80 persen mahasiswanya memperoleh beasiswa. “Sebagian besar mahasiswa kami tidak perlu merogoh kantong sendiri untuk kuliah,” kata Prof Khusal Sen, pengajar jurusan tekstil IIT Delhi.



Di IIT Delhi, sekitar 20 persen lulusan program S1-nya memilih meneruskan studi. Sisanya langsung bekerja. Sekitar 80 persen di antaranya menyerbu pasar kerja luar negeri, terutama Amerika Serikat.



Bagi warga India, IIT Delhi bisa membalikkan tangan nasib seseorang, dari golongan bawah menjadi kelas menengah atas. Menurut Arnav Sinha, mahasiswa tahun terakhir di Jurusan Teknik Kimia IIT Delhi, bila langsung bekerja di India setelah lulus ia akan memperoleh gaji sekitar 400.000 rupee (Rp 80 juta per tahun) yang akan menempatkan dia dalam posisi kelas menengah atas di India.



Reputasi yang mendunia itu juga mulai dicapai sekolah-sekolah bisnis di India. Dalam beberapa tahun terakhir enam institut manajemen India melejit reputasinya karena mengadopsi materi dan cara pengajaran yang berkelas internasional. Indian Institute of Management di Ahmedabad, misalnya, hampir disejajarkan sekolah bisnis di Harvard. Lulusan terbaiknya diperebutkan perusahaan-perusahaan top di Amerika Serikat.



Di balik persoalan kemiskinan, buta huruf, dan angka putus sekolah di tingkat pendidikan dasar yang tinggi, India menghasilkan ilmuwan-ilmuwan terbaik di dunia. Sederet pemenang Nobel lahir dari negara berpenduduk sekitar satu miliar itu. Sebutlah Amartya Sen pemenang Nobel bidang ekonomi, Subrawanian dan Cancrashekar Venkantaraman di bidang fisika, serta Hargobind Khorana di bidang kedokteran. Belum lagi Ibu Theresa pemenang Nobel bidang perdamaian dan Rabindranath Tagore di bidang sastra.



REPUTASI gemilang perguruan tinggi di India itu belum diperhitungkan orang-orang Indonesia yang ingin belajar ke luar negeri. Tiap tahun belasan ribu mahasiswa Indonesia lebih memilih perguruan tinggi di Australia, Inggris, atau Amerika Serikat. Tidak jarang pilihan itu asal ke Australia, Inggris, atau Amerika Serikat tanpa ambil pusing dengan reputasi institusi dan kualitas program studi yang dipilih. Mahasiswa Indonesia yang belajar ke India jumlahnya hanya puluhan, itu pun sebagian besar berangkat ke India karena memperoleh beasiswa.



Dalton Sembiring, Konsul Kebudayaan Indonesia di New Delhi, mengatakan pendidikan tinggi di India merupakan alternatif yang baik untuk melanjutkan studi. Sistem pendidikan tinggi di India telah diintegrasikan dengan standar internasional. Sayangnya tidak banyak orang Indonesia yang mau belajar ke India, apalagi untuk bidang teknik dan teknologi informasi. Padahal, kata Suhadi M Salam-diplomat Indonesia di New Delhi- orang-orang India sangat menguasai teknologi. “Di Amerika Serikat atau Australia sekalipun, banyak pengajar teknologi informasinya berasal dari India,” kata Suhadi.



Biaya kuliah dan biaya hidup di India masih tergolong murah untuk ukuran mahasiswa asing. Untuk mahasiswa asing, biaya kuliah S1 rata-rata hanya sekitar 500 dollar AS (kurang dari Rp 5 juta) setahun. Untuk program magister bisnis, biayanya masih berkisar Rp 40 juta per tahun, sudah termasuk biaya hidup di asrama Sayangnya, institusi pendidikan tinggi di India kebanyakan masih konservatif dalam menawarkan pendidikannya untuk mahasiswa asing. Tidak seperti perguruan tinggi di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat yang telah mengemas pendidikan tingginya menjadi industri didukung dengan petugas pemasaran yang agresif, pendidikan tinggi di India lebih bersikap menunggu.



Prof Khusal Sen dari Departemen Tekstil IIT Delhi mengatakan, lembaganya tidak memberikan perlakuan khusus kepada mahasiswa asing. Mahasiswa asing bisa saja

masuk IIT Delhi asal lolos ujian saringan pertama dan ujian esai yang diikuti tidak kurang dari 270.000 peminat.



Akan tetapi, sejumlah perguruan tinggi lainnya seperti IIT Roorkee dan Universitas Jamia Milia Islamia menawarkan prosedur berbeda bagi mahasiswa asing. Menurut Direktur IIT Roorkee Dr Prem Vrat, mahasiswa asing yang ingin masuk IIT Roorkee cukup mengirimkan lamaran tanpa harus mengikuti seleksi masuk bersama ratusan orang India lainnya, meski kualifikasi untuk mengikuti studi di perguruan tinggi itu tetap disyaratkan.



India memang menjanjikan banyak untuk mereka yang ingin mencari ilmu. Akan tetapi, untuk orang-orang muda yang ingin mencari kenikmatan hidup, India bukan tempatnya. Jalanan di New Delhi dan kota-kota lain di India tidak lebih beradab dari Jakarta. Lomba bunyi klakson tidak pernah sepi di jalanan. Permukiman kumuh, orang miskin, dan pengemis ada di mana- mana. Mal dan sinepleks hanya ada satu dua di dalam New Delhi. Di luar sejumlah kecil enklaf yang dihuni superkaya, India masih berwajah miskin.



“Jangan harap bisa hidup bermewah-mewah kalau mau belajar ke India,” kata Suhadi. **P Bambang Wisudo

 Perhimpunan Pelajar Indonesia di India

0 komentar:

Posting Komentar

Baca Juga!!!