Oleh: Dr. Abdul Mannan, MM
Ketua Badan Pembina PPH Depok
Ditinjau dari sisi bahasa peradaban merupakan terjemahan dari kata tamaddun atau hadhara. Hadhara bermakna hadir, eksis. Sementara tamaddun diambil dari kata madinah yang selanjutnya dapat dimaknai sebagai kehidupan yang mengacu pada konsep dan sistem kehidupan yang pernah diterapkan oleh rasulullah saw di Madinah pada 14 abad lalu. Jadi tamaddun sama artinya dengan visi membangun masyarakat madani.
Di kalangan akademisi, kajian peradaban cukup intens didiskusikan. Berbagai seminar, buku, paper, tentang peradaban pun ramai diselenggarakan dan diterbitkan. Peradaban pun hadir sebagai isu bersama, dimana setiap kelompok, bangsa, negara, termasuk juga pemeluk agama masing-masing memperkenalkan konsep peradabannya. Maka tidaklah keliru jika kemudian dikatakan bahwa ada yang namanya benturan peradaban.
Paska perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, seorang intelektual Barat, Samuel P. Huntington dalam sebuah tesisnya menyebutkan bahwa, akan muncul benturan peradaban (clash of civilization). Yaitu akan munculnya benturan yang terjadi antara kelompok penganut ideologi berbasis filsafat (kapitalisme) dan ideologi berbasis agama (Islam).
Pernyataan Hutington sebenarnya lumrah. Sebab secara historis benturan peradaban adalah satu hal yang pasti terjadi bahkan terus-menerus terjadi. Sebab peradaban merupakan manivestasi nilai dan keyakinan sebuah bangsa yang menjadi motor penggerak seluruh aktivitas kehidupan manusia, termasuk aktivitas ilmiahnya. Mulai dari wilayah sains hingga teknologi, juga termasuk mulai dari aspek agama hingga budaya.
Nilai dan keyakinan yang selanjutnya menjadi faktor terpenting dari terbentuknya cara pandang seseorang (world view) menjadikan setiap kelompok, baik itu suku, agama, bangsa dan negara, memiliki standar nilai-nilai kebaikan dan keburukan sekaligus. Disinilah benturan sangat nyata terlihat dan tak dapat dihindari.
Bagi peradaban Barat misalnya, pergaulan bebas adalah satu kewajaran dan merupakan bagian dari dasar HAM yang tak boleh diganggu oleh siapapun, termasuk diatur oleh agama.
Sementara dalam Islam, pergaulan bebas adalah satu bentuk kemunkaran kepada Allah SWT. Bukti lain misalnya, tradisi menggunakan pakaian you can see di kalangan remaja putri hari ini, merupakan fakta ter-up date bahwa mayoritas remaja Muslim di negeri ini gagal mempertahankan identitasnya sebagai muslimah.
Pemandangan muslimah yang menanggalkan jilbab kemudian memilih baju ketat, dan sempit bukanlah fenomena biasa. Hal itu menunjukkan bahwa ada yang namanya benturan peradaban.
Peradaban yang superior (tangguh, kokoh, kuat) akan mendominasi peradaban yang inferior (lemah tak berdaya). Kini ummat Islam berada dalam posisi inferior, marginal dan tak berdaya.
Zaman orang tua dulu, pacaran adalah haram. Kini pacaran adalah wajar bahkan dianggap sebagai kebutuhan. Tidak sedikit orang tua yang gusar manakala anak gadisnya masih jomblo. Zaman dulu anak-anak masih punya motivasi untuk belajar al-Qur’an meski harus berjalan kaki sembari membawa obor. Kini, dengan fasilitas yang serba mudah, antusias tersebut justru kian memudar bahkan nyaris tak terlihat.
Situasinya menjadi sangat parah, tatkala anak-anak kita ternyata lebih akrab dengan bintang film daripada nabi Muhammad. Lebih mengenal profile pemain bola daripada sahabat nabi. Sementara itu, di kalangan ibu-ibu, khususnya mereka yang gandrung dengan sinetron dan gosip akan merelakan waktunya berlalu hanya untuk membahas artis kesukaannya.
Bagi mereka al-Qur’an bukan lagi satu kitab yang perlu dibaca, apalagi dikaji. Tanpa sadar mereka telah meminggirkan spirit imannya dan dengan penuh kegembiraan menyalakan api kesia-siaan dalam dirinya.
Dengan demikian wawasan peradaban adalah wawasan yang mesti dipahami oleh seluruh umat Islam. Terlebih di tengah arus globalisasi yang benturan peradaban merupakan keniscayaan di dalamnya. Jangan sampai terjadi seorang Muslim justru berperilaku tidak semestinya seorang Muslim, hanya karena dirinya tidak sadar bahwa yang dilakukannya adalah keliru karena miskin ilmu.
Membangun Tradisi Ilmu
Menghadapi benturan peradaban kita tidak bisa menggunakan cara-cara frontal dan sporadis. Sebab manusia bertindak atas dasar keyakinan berikut ilmu dan pemahaman yang dimilikinya. Keyakinan manusia akan tumbuh kuat dan mengakar sangat didominasi oleh situasi perkembangan sosial di sekitarnya.
Apabila situasi sosial mendukung untuk tertanamnya nilai-nilai keimanan, ketauhidan dengan baik, maka akan lahir generasi yang cerdas, santun, dan berwawasan tauhidi. Namun sebaliknya, jika situasi sosial justru menghambat, bahkan menghancurkan benih keimanan dan ketauhidan, maka akan lahirlah generasi materialistis. Sebuah generasi yang memuja akal dan menegasikan wahyu. sebagaimana yang terjadi di Eropa, Amerika dan Australia dalam dua abad terakhir.
Ummat Islam hampir tak berdaya menghadapi gempuran peradaban Barat. Bahkan kini hampir seluruh disiplin keilmuan dalam Islam juga nyaris didominasi oleh kaum Orientalis. Menghadapi situasi ini maka tidak ada jalan lain kecuali dengan bersama-sama menumbuhkan kesadaran secara kolektif untuk mencintai ilmu sampai akhirnya lahirlah komunitas pencinta ilmu (learning community).
Ummat Islam akan memenangkan adanya benturan peradaban jika mereka memahami, meyakini, dan berupaya sungguh-sungguh untuk mengamalkan Islam secara kaffah (keseluruhan). Dimana situasi itu akan mewujud manakala tradisi ilmu berhasil dibentuk, ditumbuhkan dan terus-menerus dikembangkan sebagaimana telah ditauladankan oleh rasulullah saw. Baik tatkala masa dakwah 13 tahun di Makkah maupun masa 10 tahun di Madinah.
Ketika kita membuka lembar demi lembar sejarah peradaban Islam, sontak kita akan takjub dan terheran-heran. Bagaimana bisa ummat Islam mampu melahirkan sosok manusia-manusia yang berkualitas secara spiritual dan unggul secara intelektual.
Ketangguhan dan kepeloporan sahabat nabi di medan jihad misalnya hadir dan mengkarakter dalam jiwa mereka karena diskusi intens yang dilakukan nabi di rumah sahabat Arqan bin Abi al-Arqam. Bahkan dalam penuturan Prof. Dr. MM Al-A’zami dalam bukunya The History of The Qur’anic Text, rasulullah saw memiliki tidak kurang 300 sekretaris pribadi yang khusus menuliskan ayat-ayat al-Qur’an.
Kita pun akan semakin terperangah tatkala melihat tujuh abad pertama perjalanan sejarah ummat Islam. Disana banyak sekali manusia-manusia unggul dalam segala bidang. Menariknya mereka yang unggul di bidang agama juga expert di bidang sains dan teknologi.
Sebut saja misalnya, Fakhruddin Al-Razi, seorang ulama yang pakar logika, matematika, filsafat, sastra dan juga ilmu-ilmu astronomi. Demikian pula halnya dengan ulama fenomenal, Imam Ghazali, beliau ternyata seorang sufi yang ahli filsafat, matematika, dan psikologi.
Pendek kata Islam akan bangkit dan memenangkan benturan peradaban manakala ummatnya kembali berupaya secara maksimal untuk membangun tradisi ilmu. Mencintai al-Qur’an dengan cara gemar membacanya, mentadabburinya, juga mentafakkurinya.
Apabila hal ini berhasil kita wujudkan, Insya Allah kedepan tidak akan ada generasi muda kita yang asing terhadap kitab sucinya, asing terhadap sejarah peradabannya. Dan, tentu dengan situasi tersebut akan lahir generasi Muslim yang kokoh aqidahnya, kuat ibadahnya, cerdas perangainya dan santun perbuatannya.
Jika ini terwujud, Insya Allah ummat Islam kembali akan mampu memimpin dunia dengan peradabannya yang unggul sebagaimana tujuh abad pertama sejarah peradaban Islam yang dipelopori oleh rasulullah saw. Wallahu a’lam.